SASTRA, SIBERNETIKA: PUISI HARI INI
SASTRA, SIBERNETIKA: PUISI HARI INI[1]
Oleh : S. Arimba[2]
Apa Kabar Sastra?
Pembicaraan seputar sastra di kalangan penulis
maupun pegiat sastra sejauh ini tidak pernah lepas dari tiga hal pokok. Pertama, sastra sebagai suatu karya
kreatif yang mencakup antara lain sastra sebagai sebuah teks; kedua sastra sebagai sebuah aktifitas
seni yang melibatkan komunitas; dan ketiga
sastra sebagai ruang publik yang melibatkan media dan masyarakat secara lebih luas.
Dalam pembicaraan tersebut setidaknya ada lima komponen penting yang
mempengaruhi pergerakan dunia sastra yaitu.
- Sastrawan/penyair/cerpenis/novelis: Kreator yang mencipta karya sastra, kerja yang dilakukan adalah kerja individual, meskipun memungkinkan dipengaruhi oleh komponen lain seperti kritikus sastra dan redaktur.
- Kritikus sastra/teorikus: Apresiator yang memberikan penilaian baik-buruknya karya sastra, sekaligus menulis teori dan sejarah sastra. Kritikus ini sebagian besar berasal dari dunia pendidikan, meskipun ada juga yang berasal dari kalangan penulis.
- Pelaku seni/pegiat/ aktivis sastra: Seorang yang berupaya mendekatkan sastra kepada masyarakat melalui berbagai kegiatan. Umumnya mereka bersifat komunal dan tergabung dalam komunitas sastra tertentu.
- Redaktur: Penentu layak-tidaknya suatu karya dimuat di media massa/penerbit. Media cetak pada masa sastra koran merupakan salah satu tolok ukur dalam menentukan eksistensi seorang sastrawan.
- Pembaca/penikmat: Apresiator karya sastra baik yang masih berupa naskah maupun yang sudah dialihwahana menjadi bentuk lain.
Perguruan tinggi yang memiliki fakultas atau
program studi sastra umumnya meletakkan sastra pada wilayah yang pertama. Hal
tersebut tampak misalnya pada penelitian skripsi atau thesis yang dikerjakan
mahasiswa mayoritas bergerak seputar hal tersebut. Masih sangat sedikit
dijumpai penelitian-penelitian yang menjangkau wilayah produksi, wilayah
pengaruh sosial sastra (penelitian tentang media), atau tentang komunitas
sastra misalnya. Penelitian umumnya masih bergerak pada analisis teks karya
sastra menggunakan teori-teori tertentu. Kompetensi lulusannya selama ini juga
dibatasi pada menjadi kritikus sastra
(ironisnya juga masih sangat langka muncul kepermukaan), dan belum ada
yang berani misalnya mensyaratkan karya sastra sebagai pengganti skripsi.
Dengan
demikian muncul semacam ketepisahan antara dunia sastra (pendidikan) di
perguruan tinggi dengan dunia sastra yang berjalan di masyarakat. Hal tersebut
sebenarnya tidak menjadi persoalan seandainya saja fungsi utama sebagai
pencetak kritikus, teoritikus, dan sejarawan sastra berjalan dengan baik. Menjadi
pekerjaan rumah bersama untuk melihat sekali lagi apakah kompetensi yang
diharapkan dari sarjana dan magister kita sudah sesuai yang diharapkan. Jika
sastrawan, penyair, cerpenis kita sudah tumbuh bak cendawan di musim hujan,
maka bagaimanakah dengan kritikus sastranya? Pertanyaan lebih ekstrim misalnya,
masihkah dibutuhkan seorang kritikus sastra di jaman sosial media ini.
Pertanyaan-pertanyaan semacam itu akan membuat kita memikirkan kembali langkah-langkah
yang harus diambil sebagai salah satu bagian dalam dunia sastra menghadapi
perubahan jaman yang tengah berlangsung.
Bagi
mahasiswa, yang berperan sebagai pelaku dalam perubahan jaman itu sendiri,
penting untuk menentukan dan mengambil sikap terkait hal di atas. Karena sudah
berkecimpung dan memilih hidup dalam dunia sastra, maka pertanyaan seperti
peran apa yang akan diambil dalam lingkungan sastra sangatlah penting. Bagi
dosen atau pemangku struktural penyikapan hal-hal di atas tentu bukan sebatas sesekali mengadakan
forum, seminar, diskusi yang mempertemukan antara sastrawan dengan mahasiswa
(calon kritikus sastra), namun juga perbaikan kurikulum yang perlu diperluas
kemungkinan-kemungkinannya. Salah satunya misalkan sejauh mana kemungkinan kajian
atau penelitian terhadap sastra saiber. Bisakah objek material yang berasal
dari sastra saiber dijadikan bahan skripsi, perlukah syarat dan kriteria
tertentu, dan sebagainya.
Pro-kontra Sastra Saiber
Sebagaimana
sudah kita ketahui bersama, sejak tahun 2000-an, ketika internet menjadi sebuah
trend baru di Indonesia, dunia sastra
juga turut serta dalam hiruk-pikuk kehebohan tersebut yang kemudian banyak
dikenal dengan istilah cyber sastra[3].
Pembicaraan seputar cyber sastra sudah sangat sering dilakukan, misalkan
mengetik “cyber sastra” melalui search
engine google, setidaknya akan muncul 381.000 tautan yang berkenaan dengan
hal tersebut. Pembicaraan-pembicaraan tersebut saya rasa bisa dibaca lebih
lanjut melalui gadget masing-masing.
Secara singkat dapat kita tarik kesimpulan umum bahwa sastra cyber (sastra
saiber, sastra maya, sastra digital, sastra internet) merupakan sastra yang bermediumkan internet. Medium atau
media tersebut dapat kita sikapi sebatas sebuah wadah, sarana publikasi, dapat
juga dilihat sebagai sebuah gejala perubahan suatu tatanan sosial. Adapun genre
sastra yang paling banyak berkembang dan mendapat apresiasi dalam sastra saiber
ini adalah puisi dan cerpen, sedangkan untuk novel dan naskah drama meskipun
juga ada, jumlahnya tidak sebanyak puisi dan cerpen.
Pertanyaan yang umum diajukan mengenai fenomena di atas adalah “Apakah
hal tersebut merupakan suatu kemajuan atau kemunduran?” Hal tersebut bisa
diidentifikasi lewat dua faktor yaitu kualitas dan kuantitas. Jika pada masa sebelumnya
legitimasi sastra terletak pada kritikus
sastra (masa HB. Jassin misalnya), penerbit buku (editor), dan redaktur media
cetak (koran/majalah), pada masa cyber sastra legitimasi tersebut mengalami
pergeseran karena setiap orang dapat mempublikasi karyanya dengan mudah tanpa
harus melewati kurasi seorang redaktur. Meskipun tidak serta merta legitimasi
model kritikus ataupun redaktur tersebut menjadi hilang, namun adanya media
internet memunculkan arena tarung yang baru bagi para penulis. Hal tersebut bisa
jadi memberikan indikasi yang positif secara kuantitas. Karena medianya tak
terbatas, maka secara kuantitas jumlah karya yang muncul dan dapat diakses
publik menjadi lebih banyak.
Secara kualitas karena tidak melalui kurasi tertentu beberapa pihak
menganggap produk cyber sastra ini tidak bisa dijamin, sebagian orang lebih
jauh menyebutnya sebagai sastra “sampah” bahkan dianggap sebagai anak haram
dalam sastra Indonesia[4]. Bagi yang pro dengan sastra saiber cenderung meletakkan penilaian
tentang kualitas suatu karya kepada pembaca langsung. Baik-buruknya kualitas
suatu karya pembaca jualah yang akhirnya memutuskan. Hal ini wajar mengingat
bagi para penulis atau sastrawan yang setuju dan bergerak dalam sastra saiber
umumnya mendasari tindakannya pada tiga alasan utama sebagaimana yang
diungkapkan Endraswara (2006), pertama
keinginan mencari model baru kreativitas dan ingin meninggalkan tradisi
lama yang menjenuhkan; kedua, adanya keinginan sebagian dari
mereka untuk segera mencari popularitas tanpa harus melalui ‘wisuda khusus’; ketiga, ada yang hanya iseng dan ingin
lari dari penjara sastra koran dan buku yang dianggap terlalu hegemonik. Dengan
demikian sejak awal kemunculannya, sastra saiber ini memang cenderung berbau
politis.
Pada awal-awal perkembangannya muncul beberapa situs/laman web yang
memiliki semacam dewan redaksi yang menyeleksi karya-karya yang ditampilkan, yang
memberikan harapan munculnya sebuah wadah, bahkan estetika sastra yang baru, namun
sayangnya hal tersebut tidak bertahan lama. Jika pada bidang esai muncul situs
mojok.co yang secara konsisten memunculkan tulisan-tulisan yang berkualitas,
yang tidak tertampung dalam media cetak yang memiliki keterbatasan space, hal tersebut tidak terjadi pada
sastra, khususnya puisi. Pada perkembangan terakhir website sastra maupun group
sastra di facebook menjadi sekedar etalase yang menampilkan ulang karya-karya termuat
di media cetak. Sangat sulit mencari situs yang menampilkan karya-karya puisi
yang baru dan berkualitas yang bukan sekedar perpanjangan tangan dari karya
yang sudah di muat di media cetak. Pada sisi lain karya sastra yang ditulis di
facebook, twitter, blog pribadi yang sering update
seringkali justru menimbulkan kecurigaan sementara pihak karena prosesnya yang
instan, juga persoalan orisinalitas karya itu sendiri. Bisa dibayangkan jika
seseorang menulis puisi setiap hari di dinding facebooknya dengan penera waktu
yang berdekatan. Hal tersebut dapat dicurigai sebagai sebuah proses penciptaan
yang tanpa pengendapan dan perenungan yang mendalam. Benarkah demikian?
Terlepas dari berbagai pandangan negatif terhadap sastra saiber,
kenyataan bahwa perkembangan dan kemajuan jaman memang tidak bisa ditolak,
selayaknya disikapi dengan lebih arif. Umpama sebuah pisau, bisa dipergunakan
untuk mengupas buah, namun juga bisa digunakan untuk membunuh orang. Adanya
kemajuan sosial media bisa dipergunakan untuk menghasilkan dan mempublikasikan
karya-karya berkualitas dengan jangkauan luas atau menghasilkan gunung sampah
karya sastra yang sulit dipilah. Dalam hal ini seorang kritikus sastra sangat
berperan. Lebih jauh memang harus dipertimbangkan ulang apakah kanonitas dalam
karya sastra yang selama ini dipegang teguh masih perlu dipertahankan. Masih
perlukah batasan-batasan, bahkan legitimasi sastrawan atau bukan sastrawan.
Bagaimana seandainya dari seorang user twitter yang tidak dikenal sebagai
seorang penyair tiba-tiba membuat sebuah puisi yang menarik, lantas mendapat
apresiasi luas dari followernya? Bisakah lantas ia masuk ke dalam bagian
sejarah sastra Indonesia? Apakah ini
semua bukan semata sebuah gejala umum dari sebuah periode yang disebut
postmodern itu?
Etika Puisi
Pada perkembangan awal sastra
saiber dapat dilihat bahwa posisi internet memiliki fungsi yang kurang lebih
sama dengan media cetak. Perbedaannya lebih pada teknis digital yang
memungkinkan berbagai variasi dalam menampilkan karya sastra (warna, suara,
jenis huruf, ukuran, dll). Pembeda kedua bahwa setiap orang mampu menciptakan
media tersebut secara individual, sehingga dominasi kekuasaan seperti pada
media cetak tidak terjadi. Tapi pada tahap lanjutan akan terlihat bagaimana
revolusi teknologi ini bisa bersebrangan dan saling menyerang. Namun sebaiknya
memang kita lihat terlebih dahulu beberapa contoh website dan konten di
dalamnya untuk melihat pola-pola yang dipergunakan pada website/blog sastra tersebut.
No
|
Nama Situs
|
Posting Awal
|
Posting terakhir
|
Kontent yang ditampilkan
|
Deskripsi
|
1
|
9-5-2001
|
Di
hack pada awal 2004
|
Puisi,
cerpen, esai
|
cybersastra
merupakan nama situs milik Yayasan Multimedia Sastra (YMS) sebagai media
publikasi karya sastra lewat fasilitas internet.
|
|
2
|
www.jendelasastra.com
|
11-6-2009
|
14-4-2016
|
Puisi,
prosa, drama, esai, berita
|
Jendela Sastra adalah situs web tempat
mengekspresikan gagasan baik dalam bentuk karya sastra, kritik, maupun essay,
untuk menambah wawasan kesastraan masyarakat Indonesia. Di Jendela Sastra, pengunjung (anggota)
dapat secara langsung menulis dan menerbitkan karya mereka, mengomentari,
berdiskusi, dan berbagi dengan anggota dan pengunjung lain
|
3
|
www.duniasastra.com
|
24-3-2015
|
12-4-2016
|
Biografi,
Puisi
|
Website
ini merupakan situs pribadi dari Hartono Beny Hidayat
|
4
|
www.rumpunnektar.com
|
Tidak
muncul
|
23-3-2016
|
Puisi,
prosa, resensi, berita
|
Rumpun
Nektar adalah sebuah komunitas penulis fiksi sastra Indonesia yang memberi
wadah untuk para penggiat dunia literasi untuk saling berbagi dan
berkomunikasi serta mengembangkan potensi, minat, bakat, juga semangat agar
tepat dengan apa yang diinginkan. Rumpun nektar membentuk siapapun menjadi
dirinya sendiri.
|
5
|
www.sastranesia.com
|
9-1-2013
|
14-4-2016
|
Puisi,
Cerpen, Resensi, Esai
|
Sastranesia
merupakan situs yang ingin memelihara khazanah sastra dan bahasa Indonesia.
Berbagai karya sastra dan persoalan bahasa dibahas di situs ini. Sastranesia
adalah tempat yang tepat untuk anda, para pecinta bahasa dan sastra
Indonesia!
|
6
|
www.pawonsastra. blogspot.com
|
22-11-2007
|
16-4-2016
|
Berita,
Esai
|
Buletin Sastra
Pawon didirikan dan didukung oleh sejumlah komunitas sastra di Solo, Jawa
Tengah. Terbit pertama kali pada Januari 2007. Dalam perjalanan waktu,
buletin PAWON meluaskan kegiatan ke wilayah lain diluar penerbitan, yakni
mengadakan diskusi, workshop penulisan, kelas menulis, pentas seni dan
sastra, menambah lini penerbitan, pendokumentasian kota melalui cerita dan
lain sebagainya.
|
Data diambil pada 14 April 2016
Dari beberapa
situs di atas tampak upaya pengembangan sastra saiber sebagai sesuatu yang
mandiri. Namun di luar apa yang dipaparkan di atas, ada juga situs-situs
semacam klipingsastra.com yang semata menyajikan atau menampilkan ulang karya
sastra yang telah dimuat di media cetak seperti Koran Kompas, Jawapos, Tempo,
Media Indonesia, Republika, dan Kedaulatan Rakyat. Adanya perbedaan/variasi
yang muncul tersebut dapat diasumsikan sesuai dengan maksud dan tujuan si
pembuat atau pemilik website.
Pada perkembangan selanjutnya ketika facebook dan twitter dipergunakan
secara masif, sastra juga ikut berkembang sedemikian rupa. Banyak akun-akun
penulis/sastrawan yang bermunculan yang menampilkan karya-karyanya, baik yang
baru maupun yang lama. Masyarakat yang memiliki ketertarikan terhadap dunia
sastra turut serta andil menulis karya sastra melalui sosial media yang
dimiliki. Setiap orang kemudian seolah mampu menjadi sastrawan dengan para
follower atau teman di jejaringnya sebagai apresiator sekaligus komentator. Tidak
heran kemudian muncul banyak seleb twit yang memiliki ribuan follower dengan
memanfaatkan sastra sebagai senjata. Banyak juga orang yang mengkhususkan diri
untuk kepentingan tertentu dengan membuat
akun-akun sastra atau group-group sastra (terutama komunitas sastra). Pada twitter
banyak akun-akun yang membuat tweet berisi karya sastra antara lain: @fiksimini
@sajak_cinta @syair_malam @syair_pagi @puisikita @twitpuisi yang rutin
setiap hari memilih karya-karya sastra berukuran 140 karakter.
Pada media sosial instagram muncul juga akun-akun sastra misalnya
“kumpulan_puisi” dan “puisi_cinta”
menampilkan foto quote karya sastra dari berbagai penulis yang dikutip dari
berbagai sumber.
Imbas dari kelanjutan fenomena tersebut, terjadi perubahan karakter
yang mendasar jika memandang kehadiran karya sastra dari sisi pembaca. Posisi
pembaca yang awalnya adalah objek yang dapat memilih karya sastra yang ingin
dibaca, dalam era media sosial ini menjadi objek yang ‘dipaksa’ untuk membaca
sebuah karya sastra. Karakter masyarakat yang memiliki kuasa untuk menampilkan
karya sastra dalam media sosialnya tidak hanya menunjukkan gejala
eksistensialisme yang menguat, namun juga narsisme. Munculnya keluhan ketika
seorang yang senang membuat puisi kemudian menandai (taq) atau men-share pada wall orang lain membuktikan hal tersebut. Tampaknya ada semacam
kebutuhan untuk diakui, dan perasaan ‘pede’ bahwa karya yang diciptakan bagus
dan bermanfaat bagi orang lain. Apakah yang di share atau di tandai merasa demikian? Perlu dipertanyakan tentunya.
Narsisme tampaknya tidak berhenti sebatas selfie yang sudah menggejala
akhir-akhir ini, dunia sastra, dunia puisi, juga tidak mampu lari.
Gejala yang demikian sesungguhnya cukup memprihatinkan terlepas dari
karya sastranya sendiri. Puisi yang demikian tidak lagi menjadi sesuatu yang
dapat dinikmati sebagai sebuah pilihan ruang kontemplasi. Puisi oleh si penulis
justru menjadi teror bagi para penikmat sastra. Sayangnya memang tidak ada
aturan baku mengenai hal semacam ini. Semua hanya sebatas rasa dan etika yang
kabur. Cara mudah menghindarinya tentu saja dengan menghilangkan dari
pertemanan. Simple sebenarnya. Tetapi apa itu juga baik? Wallahu’alam.
Yogyakarta, April 2016
[1] Disampaikan dalam diskusi sastra di
Unsoed Purwokerto tanggal 15 April 2016.
[2] Penyair, Penggerak Sastra di
Yogyakarta.
[3] Sastrawan generasi cyber di Indonesia telah
lahir bersamaan dengan maraknya penggunaan internet sebagai media penyampaian
atau media ekspresi karya sastra, selain di media cetak (tulis) dan media
lisan. Deklarasi kelahiran generasi baru dalam sejarah sastra Indonesia ini
ditandai dengan peluncuran situs sastra www.cybersastra.net dan kumpulan puisi Graffiti Gratitude yang dieditori oleh Cunong Nunuk
Suraja, Medy Loekito, Nanang Suryadi, Sutan Iwan Soekri Munaf, dan Tulus
Widjanarko pada 9 Mei 2001 di Hotel Sahid Jaya, Jakarta. (Samboja:2008)
[4] Sejak lahirnya generasi baru dalam sastra
Indonesia tersebut, selain kritik yang wajar, hantaman demi hantaman datang
silih berganti, sepertinya para Orang Tua dalam sastra Indonesia tidak rela
menerima kehadiran seorang bayi yang lahir tanpa proses perkawinan yang sah
atau dapat dikatakan seperti Anak Haram atau Anak Jadah (Samboja:2008)
Komentar
Posting Komentar