“ONRUST, membaca apa?”

 Untuk S. Arimba
Tri Wahyudi·26 April 2016 

Awalan: Arimba, puisi, dan perjalanannya
Membincang tentang puisi, tak dapat dipungkiri bahwa jalan singkat paling estetis untuk berekspresi adalah melalui puisi. Puisi memberikan kebebasan pada siapapun untuk menulis dan berbicara dengan bahasa mereka sendiri. Bahkan, di era digital yang serba internet ini, semua orang bisa menjadi penyair atau penulis puisi. Tulisan-tulisan indah banyak bertebaran di dinding media sosial dan mendapatkan puluhan, bahkan ratusan ‘like’. Hal ini menandakan bahwa ruang ekspresi tersebut dibaca dan diapresiasi. Puisi tidak lagi berdiam di ruang sepi dan sunyi. Puisi adalah titik-titik yang mampu menimbulkan hiruk-pikuk, siapapun penulisnya (asalkan ia dibaca). S. Arimba adalah seorang kawan yang pada saat saya kenal sudah menulis puisi. Puisi-puisinya banyak bercerita tentang percintaan yang acap dianggap sebagai tema picisan. Dan tentu saja dalam kaca pandang saya, S. Arimba menarasikannya berbeda.
Dalam puisi-puisi S. Arimba, cinta (menurut saya) diperlakukan sebagai sebuah perjalanan pencarian, ini bukan meligitimasi seseorang sah saja menjadi Don Juan atau Cassanova. Cinta di sini merefleksikan bahwa menyukai dan memiliki bukan sesuatu posesifitas seseorang terhadap apa atau siapa yang dia miliki, namun lebih pada dialog tentang apa dan bagaimana sebuah kebahagiaan dipersepsikan dan dikerjakan bersama. Meskipun seolah-olah transaksional, percayalah bahwa adalah benar jika cinta hadir berkelindan dengan gairah, pun kejenuhan. S. Arimba juga bukan seorang yang suka bermasturbasi dengan terma-terma bombastis agar kelihatan puitis. Dia selalu mengungkapkan semua dengan lugas dan biasa aja. Di sinilah kelebihannya. Dengan kebiasaannya ini, puisi-puisi yang dia tulis mampu menyajikan renungan-renungan dan kemungkinan untuk pembaca menakar diri; puisi-puisi ini mewujud, menggambarkan pengalaman-pengalaman yang hampir semua orang pernah alami dalam hidupnya. Bahwa jatuh cinta, patah hati, mengenang, melupakan, adalah bagian-bagian dari sebuah perjalanan.
Onrust: bercerita, mengenang, atau tentang dirinya?
Mendengar nama Onrust, bagi yang suka travelling atau peduli dengan tempat sejarah di Indonesia, pasti akan mengingatkan kita pada satu pulau bernama Onrust di antara gugusan pulau di Kepulauan Seribu. Selintas membaca, Pulau Onrust lumayan besar daripada beberapa pulau lainnya di kepulauan tersebut, dan mungkin itulah yang membuat ia dinamai ‘Onrust’. Onrust memiliki arti ‘tak pernah beristirahat’, berasal dari bahasa Belanda (unrest- Eng). Onrust memang memiliki kisah panjang, mulai dari tempat persinggahan kapal di jaman VOC, tempat persinggahan dan karantina haji, saksi bisu kematian para tapol dan pemberontak penjajahan Belanda dan Jepang, rumah sakit penyakit menular, hingga kisah romantis hantu perempuan Belanda; Maria Van de Velde. Menyoal puisi ‘Onrust’ tulisan S. Arimba, bagaimana posisi puisi ini?
ONRUST
(1) 
Ke pulau mati ini kau membawa, 
Pekuburan tua tempat dicatat nama-nama Belanda 
Tempat semayam rindu, tempat menanam diam 
Tanpa bau mesiau, hanya aroma tubuhmu
Bukan dalam arti menegasikan aku lirik //ku//, //kau//, dan //kita//, namun sudah jelas di sini terjadi dialog ruang antara subyek-subyek tersebut dengan Onrust dan apa yang terjadi di dalamnya. Dengan menyebut ‘pulau’ yang dilengkapi dengan ornamen-ornamen ‘pekuburan tua’, //nama-nama Belanda// dan //mesiu//, sudah tentu bait ini menunjuk pada tempat di mana si ‘aku’ sedang berbicara dengan seseorang yang bersamanya di tempat itu, sehingga muncullah kata ‘mu’ pada kata //aromamu//. Dalam hal ini, saya melihat bahwa si aku sedang bersama seseorang berkunjung ke Pulau Onrust, mencari penyaksi untuk membangun kenangan? Mungkin.
Selanjutnya dalam bait ke-2:
(2)
Bila telah sampai doa kita, akan kujelajahi tepian bercemara 
merasakan angin ombak di wajahmu 
barangkali sekali lagi menjelma kenangan 
bukankah hanya itu yang ditinggalkan reruntuhan
Dalam bait ini saya melihat ada ungkapan tentang harapan dari si aku terhadap seseorang yang bersamanya. Bahwa jika suatu saat nanti tiba pada waktunya, setidaknya ada yang bisa diingat. Kalimat //bila telah sampai doa kita// di sini sedang membicarakan tentang waktu, Pada lirik lainnya, //kenangan// dan //reruntuhan// menyiratkan bahwa tidak akan ada yang abadi, bahwa semuanya berlalu dan hanya menyisakan reruntuhan. Sehingga, dalam pembacaan saya si aku sedang berusaha menciptakan yang abadi dengan caranya sendiri, yakni; kenangan.
Dalam bait selanjutnya:
(3)
Orang-orang suci pernah datang dan pergi 
Seperti rumah-rumah, tiada yang selalu terbuka atau tertutup 
sebuah pintu dan jendela kau bangunkan untukku 
dari perjumpaan dari perpisahan 
Barangkali kau tahu meskipun hati ini serupa kamar bersekat 
Siapapun bisa berdiam, bersemayam Asal kau pemegang kunci, 
Janji bisa ditanam dalam-dalam.
Pada lirik awal, // Orang-orang suci pernah datang dan pergi//, menegaskan bahwa Onrust adalah tempat persinggahan, orang berlaluan hilir mudik, tak ada yang benar-benar tinggal. Hanya lewat. Ornamen-ornamen //rumah//, //pintu//, jendela//, hanyalah untuk mempertegas pernik-pernik perumpamaan yang sudah dipertegas dengan adanya kata //seperti//. Hal ini tidaklah penting karena sebenarnya si aku sedang membicarakan tentang perjumpaan dan perpisahan. Bahwa, mengait pada bait ke dua, ketidakabadian adalah sesuatu yang mutlak terjadi. Dengan kesadaran itu, si aku masih tetap berjuang menyematkan sesuatu utuk diingat kelak (baca: kenangan) dengan tegasan bahwa //asal kau pemegang kunci, janji bisa ditanam dalam-dalam//. Dalam perenungan saya, //ditanam// di sini bukan untuk dikubur dan dilupakan, tapi ditaruh ditempat aman yang suatu saat bisa dibuka kembali dengan //kunci//.
Kesimpulan: Onrust bukanlah tentang Onrust, Onrust adalah tentang aku (dan kau)
Pergulatan kata dalam bait-bait puisi Onrust yang ditulis oleh S. Arimba, sejauh ini Onrust memang seperti namanya, tak pernah beristirahat’. Ia mampu mengundang, membawa, dan menghadirkan si aku untuk datang dengan seseorang dan memerintah Onrust untuk (lagi-lagi) menjadi penyaksi dari kisah si aku untuk dikenang-kenang suatu saat nanti. Onrust adalah salah persinggahan sebelum perpisahan tiba, apapun penyebabnya. Yang jelas, Onrust memang ada untuk menjadi penyaksi.
Dengan demikian, S. Arimba sangat berhasil meneguhkan dirinya sebagai penyair romantis yang karyanya kaya akan perenungan dan kedalaman makna, bahwa cinta bukan sesuatu yang sederhana. Dalam puisi ini, S. Arimba membolehkan siapa saja untuk menjadi ‘aku’ dan menjadikan ‘Onrust’ tempat labuhan siapapun juga, karena apa dan di mana tidak lagi penting, melainkan kenangan itu sendiri. Terakhir, siapakah aku? apakah ‘aku’ hanyalah ‘aku lirik’ dalam puisi? Apakah ‘aku’ adalah sang penyair? Entahlah, sepenuhnya itu hak S. Arimba untuk menyimpannya, dan hak pembaca sepenuhnya untuk menerka. Selamat melakukan perjalanan, Mas Arimba.
Yogyakarta, 26 April 2016

Komentar

Postingan Populer