SASTRA KITA HARI INI: KOMUNITAS, AKADEMIS, INDUSTRI, DAN MEDIA
SASTRA KITA HARI
INI:
KOMUNITAS,
AKADEMIS, INDUSTRI, DAN MEDIA[1]
Oleh: S. Arimba[2]
Perkembangan sastra sejak awal melineum
kedua, selama kurang lebih sepuluh tahun terakhir tampaknya ditopang oleh empat
pilar utama yaitu komunitas, akademis, industri, dan media. Keempat faktor
tersebut bergerak pada ranah masing-masing dengan sesekali bersinggungan dan
saling mempengaruhi, namun lebih sering sendiri-sendiri. Sejak usainya
perdebatan sastra kontekstual[3]
dan revitalisasi sastra pedalaman[4],
dunia sastra memasuki era baru dimana tuntutan-tuntutan yang sebelumnya bergema
tersebut teratasi dengan sendirinya. Sastra tidak lagi menjadi dunia eksklusif
sekaligus terasing yang dikuasai oleh sementara orang. Hal ini bukan saja
pengaruh perkembangan teknologi internet yang kemudian menjadi oposisi bagi
dominasi media cetak, namun juga munculnya kesadaran-kesadaran baru dalam
memandang dunia sastra.
Jika pada masa sebelumnya sastra bertumpu
pada majalah sastra (Horison) dan koran minggu, setelah era media sosial sastra
dapat dipublikasikan dan dinikmati kapan saja dan dimana saja. Dunia sastra
juga tidak lagi menjadi dominasi kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, atau
Yogyakarta yang memang sejak dahulu terdapat kegiatan sastra. Kota-kota lain
seperti Padang, Tasik, Lampung, Surakarta, juga memiliki kegiatan sastra yang
tidak kalah aktifnya. Seiring berkembangnya daya baca masyarakat, perkembangan
industri buku yang cukup pesat, dan teknologi informasi yang makin canggih,
sastra berkembang sedemikian rupa menjangkau wilayah-wilayah yang lebih luas
dengan massa lebih banyak.
Komunitas
Sastra yang Menjamur
Jika dibandingkan dengan era 70-90an
komunitas sastra yang ada saat ini jumlahnya sangat jauh beda. Di Yogyakarta
misalnya, pada tahun-tahun tersebut komunitas sastra yang dikenal dapat
dihitung dengan jari dan itupun sebagian bukan komunitas sastra murni namun
bergabung dengan cabang seni yang lain seperti teater. Komunitas sastra yang
cukup dikenal adalah Persada Studi Klub
yang digawangi oleh Umbu Landu Paranggi. Komunitas lain seperti Sanggar Bambu
dan Bengkel Teater meskipun juga beraktifitas sastra namun kegiatan utamanya
adalah teater. Berbeda dengan sekarang, pada tahun 2015 menurut data yang
dihimpun oleh Himpunan Sastrawan dan Komunitas Sastra DIY (HSKS DIY) tercatat
tidak kurang 60 komunitas sastra yang masih aktif. Beberapa diantaranya Studio
Pertunjukan Sastra, Sastra Bulan Purnama Tembi, Forum Apresiasi Sastra LSBO,
Ngopinyastro, Diskusi Sastra PKKH, Teater Eska, Studi Sastra dan Teater Sila,
Masyarakat Poetika Indonesia, Sanggar Seni Sastra Kulonprogo, Malam Selasa
Sastra, Rubud EAN, dll. Memang tidak semua komunitas tersebut berfokus pada
sastra, namun sastra mendapat porsi yang cukup baik. Bagi yang fokus pada
sastra umumnya menyelenggarakan kegiatan rutin. Studio Pertunjukan Sastra
misalnya selama hampir sepuluh tahun telah melaksanakan kegiatan dan
pertunjukan sastra tidak kurang dari 126 kali (rutin sebulan sekali dan belum
lagi kegiatan insindental).
Semangat berkomunitas sastra menjalar hingga
daerah-daerah terpencil. Di daerah Boja, Kendal yang relatif cukup jauh dari
kota dan pusat pemerintahan kegiatan sastra juga berlangsung aktif. Di
kota-kota lain juga muncul hal serupa dengan berbagai variannya. Salah satu
yang cukup populer bertajuk “Malam Puisi”, Malam Puisi Bandung, Malam Puisi
Bekasi Malam Puisi Bogor, Malam Puisi Tangerang, Malam Puisi Padang, Malam
Puisi Pekan Baru, dan lain-lain. Komunitas lain yang cukup dikenal karena
kegiatan-kegiatannya diantaranya adalah Komunitas Sastra Indonesia (KSI), Forum
Lingkar Pena, Komunitas Utan Kayu, dan Sanggar Sastra Tasik (SST). Komunitas-komunitas
di atas, sebagian besar memanfaatkan media sosial untuk mempublikasikan acara
dan berkomunikasi dengan anggotanya. Hingga saat ini (2016) memang belum ada
data yang pasti mengenai jumlah pasti komunitas sastra yang ada di Indonesia
terutama yang masih aktif, namun untuk kota-kota besar umumnya memiliki
komunitas sastra. Menurut Biro Pusat Statistik selama 1993-2003, organisasi
kesenian di bidang sastra tercatat mencapai 4.699 atau 5,24% dari jumlah total
organisasi kesenian di Indonesia.
Komunitas sastra yang
ada di Indonesia tersebut dapat dikelompokkan menjadi enam jenis yaitu komunitas
yang berbasis kampus (misalnya Masyarakat Bawah Pohon UIN Yogya), komunitas
berbasis nonkampus (Misalnya KSI, SST), komunitas berbasis koran/majalah
(misalnya Horison), komunitas berbasis milis/media elektronik (misalnya
Apresiasi Sastra), komunitas berbasis penerbit (misalnya Kampus Fiksi Diva
Press), dan komunitas berbasis gerakan literasi (misalnya Indonesia Membaca). Komunitas
sastra saat ini memang tidak hanya dalam batasan pengertian sebagai
kelompok/group atau sanggar. Meskipun biasanya memiliki ketua/pengurus,
sebenarnya tidak ada ikatan yang baku mengenai keanggotaan komunitas, bahkan
jika mengacu pada komunitas sastra di dunia maya (internet) keanggotaannya
sangat longgar. Orang tidak lagi terikat pada ruang dan waktu untuk menjadi
anggota dari komunitas tertentu. Komunitas ini menjadi faktor penting dalam keberlangsungan
kehidupan sastra, khususnya dalam peranannya menumbuhkan generasi sastrawan
yang baru. Sebuah komunitas menciptakan lingkungan pergaulan yang dapat
menopang kreativitas dan juga menumbuhkan persaingan antar penyair. Tidak
berhasilnya sastrawan-sastrawan muda dalam proses seleksi alam kepenulisan
salah satunya disebabkan tidak adanya komunikasi antar sesama penyair, atau iklim yang memungkinkan terjadinya pergesekan kreativitas. Membangun
komunitas sastra dengan demikian adalah salah satu hal yang penting untuk
membuat dunia sastra lebih hidup.
Perkembangan komunitas di atas sebagian besar mengarah pada bentuk
sastra pertunjukan. Meskipun ada juga yang berbasis literasi dengan mendirikan
taman baca masyarakat misalnya dan penerbitan-penerbitan karya sastra, tetapi
sastra pertunjukan menjadi fenomena yang menarik. Tampak kecenderungan dari
para pelaku sastra untuk “tampil”, untuk “ditonton” dan menjadi pusat
perhatian. Diskusi-diskusi yang suntuk, mendalam, dan membutuhkan waktu untuk
berfikir dan merenung, kalah menarik dengan pertunjukan sastra yang dapat
dibuat beragam variasinya.
Sastra
Kampus
Selain berkembang di komunitas, sastra
juga berkembang di dunia pendidikan, khususnya perguruan tinggi yang memiliki
Jurusan Sastra atau Pendidikan Bahasa dan Sastra. Institusi akademik yang
outputnya diharapkan menghasilkan akademisi sastra (kritikus) dan guru sastra
ini merupakan fenomena menarik. Bagi mereka yang kuliah di FKIP Jurusan/Prodi
Pendidikan Bahasa dan Sastra (PBSI) outputnya lebih jelas karena mereka akan
menjadi guru yang mengajar di sekolah-sekolah. Sastra bagi mereka adalah
seperangkat pengetahuan/teori yang akan diajarkan bagi murid-muridnya.
Pengalaman bersastra dalam hal ini bertujuan semata-mata dalam kerangka
pendidikan. Bagi mahasiswa yang kuliah di Jurusan Sastra (murni) ini yang
menjadi persoalan. Jika mengacu pada visi dari prodi/jurusan tersebut, kurang
lebih akan berbunyi “Mengembangkan penelitian bahasa dan sastra Indonesia yang
dapat memecahkan persoalan kebahasaan dan kesusastraan Indonesia dan dapat
memberikan kontribusi bagi pengembangan ilmu bahasa dan sastra”. Secara singkat
dapat dikatakan bahwa outputnya adalah menghasilkan lulusan yang menjadi
peneliti bahasa dan sastra. Sayangnya hingga saat ini ada banyak sekali kritik
tentang tidak memadainya akademisi sastra dan kritikus sastra saat ini[5].
Tampaknya mewujudkan kritikus sastra dari lingkungan akademik memang tidak
mudah[6].
Hasil penelitian berupa skripsi, thesis, dan
penelitian dosen, sebagian besar hanya menjadi tumpukan arsip di perpustakaan.
Terlepas dari mutu, upaya untuk mengubah menjadi tulisan yang dapat diakses
masyarakat luas, tampaknya juga belum cukup menggembirakan. Dengan demikian
dunia pendidikan sastra di tingkat perguruan tinggi nampaknya memang masih
berputar untuk kepentingan lingkungannya sendiri. Persentuhan dengan dunia
sastra masih didominasi sebatas penelitian sastra sebagai sebuah teks.
Penelitian-penelitian yang bersifat lebih kuantitaf dan sosiologis juga masih
minim. Jika ingin mengetahui berapa jumlah produksi buku sastra, apa saja
jenisnya, siapa saja pembacanya, atau misalnya berapa jumlah komunitas sastra,
karya apa saja yang diapresiasi, berapa jumlah anggotanya, nampaknya masih
sulit diharapkan muncul dari penelitian akademis. Penelitian yang banyak
dijumpai adalah novel A dikaji dengan teori X. Barangkali memang perlu dikaji
lebih jauh kurikulum dan output yang dihasilkan. Misalkan, mungkinkah lulusan
dari jurusan sastra menghasilkan seorang sastrawan, dengan karya sastra sebagai
pengganti skripsi?
Hal yang menggembirakan adalah baik di
jurusan Sastra maupun PBSI muncul komunitas-komunitas sastra yang dikelola oleh
mahasiswa. Komunitas tersebut menyelenggarakan berbagai kegiatan berupa
pembacaan, diskusi, dan pelatihan-pelatihan sastra. Selain komunitas kegiatan
serupa biasanya diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Jurusan. Tidak jarang
juga kegiatan semacam itu mengundang sastrawan dan aktivis sastra untuk
mempertemukan dunia sastra dengan dunia akademis. Lain dari itu lingkungan akademis
lebih berupa formalitas kuliah, seminar, dan simposium.
Produksi
Buku Indie
Sejak teknologi Print on Demand (POD)[7]
dan percetakan offset mesin kecil (jumlah terbatas) marak di Indonesia muncul
penerbit-penerbit indie yang memproduksi karya sastra dalam jumlah terbatas.
Jika pada periode sebelumnya mencetak buku sastra adalah sesuatu yang sulit
karena hanya dapat dilakukan oleh penerbit besar dengan oplah besar dan harus
melalui tangan redaksi dengan persaingan yang ketat, setelah munculnya
teknologi ini penerbitan bisa dilakukan siapapun (individu maupun patungan)
dengan harga yang relatif murah. Selama memiliki naskah dan uang yang cukup
(950.000-1.950.000 untuk paket 8 eksemplar POD dan 3-5 juta untuk +200
eksemplar/offset mesin kecil) maka buku bisa diproduksi dengan mudah
diterbitkan. Teknologi dan SDM pendukung, misalnya grafis, layout saat ini juga
sudah mudah dicari dan ditemui. Dengan motif yang sebagian besar adalah
idealisme, penerbit-penerbit indie yang menerbitkan karya sastra muncul di mana-mana.
Di Jakarta misalnya berdiri penerbit Alvabet, Penerbit Komodo Books, Penerbit
Padasan, dan lain-lain, di Yogyakarta ada Indie Book Corner, Penerbit
Interlude, Penerbit Akar, Penerbit Gress, dan lain-lain.
Situasi penerbitan indie ini sebenarnya
justru berkebalikan dengan penerbitan besar yang lebih berfokus pada profit.
Banyak penerbit besar yang justru alergi terhadap penerbitan buku sastra karena
dianggap kurang profit bahkan cenderung merugi. Kalaupun penerbit besar mau
menerbitkan buku sastra lebih pada sebagai selingan atau mempertahankan variasi
dari terbitannya. Baru tahun-tahun terakhir ini saja setelah buku sastra
kembali naik daun, penerbit besar mulai melirik kembali buku sastra, itupun
sebagian besar bergenre prosa. Penerbitan buku-buku puisi masih didominasi oleh
penerbit-penerbit indie. Kasus Laskar Pelangi dan Ayat-ayat Cinta
barangkali salah satu yang mendorong penerbit besar kembali melirik sastra,
karena memang secara profit daya jual dua buku tersebut cukup menyedot
perhatian. Hingga 2013 misalnya Laskar Pelangi disebutkan telah laku
sekitar 200 ribu eksemplar dan Ayat-ayat Cinta sebanyak 300 ribu
eksemplar. Novel Ayat-ayat Cinta yang telah dicetak ulang sebanyak 30
kali tersebut, keuntungan yang diperoleh diperkirakan tidak kurang dari 10
miliar.
Dari sisi pemasaran pada sepuluh tahun
terakhir juga mengalami pergeseran. Jika dulu pemasaran buku sastra
mengandalkan pada penjualan di toko buku sebagaimana buku-buku lainnya, setelah
maraknya media internet penjualan buku sastra banyak mengandalkan pemasaran dan
penjualan online. Selain penjualan online model yang dikembangkan adalah
penjualan langsung oleh penulisnya (biasanya dengan bonus tanda tangan) dan
penjualan melalui pameran buku (dalam acara kecil maupun besar). Salah satu contoh
yang cukup berhasil menggunakan model penjualan online dan langsung penulis
adalah Dewi Lestari (Dee) ketika menerbitkan Supernovanya pada 2001.
Tidak hanya penerbit dan penulis, dalam perkembangan terakhir banyak
bermunculan penjual buku online yang menawarkan buku sastra, bahkan ada yang
mengkhususkan diri dengan nama sastra, misalnya jualbukusastra.com (JBS).
Banyak juga yang meskipun tidak hanya menjual buku sastra tapi jumlah buku
sastra yang disediakan cukup banyak seperti bukukita.com, bukabuku.com, fb buku
lawas menk menk, fb jagoan buku sastra, fb sadeyan buku, dll. Penjual buku
online semacam itu menjadi tidak saja menyediakan buku-buku sastra yang ada di
toko buku, namun juga buku-buku sastra dari penerbit indie yang sulit
didapatkan di toko buku.
Tidak hanya buku, majalah dan buletin
sastra juga tumbuh seiring perkembangan teknologi cetak. Banyak komunitas
sastra yang kemudian menggunakan buletin dan majalah untuk media publikasi
selain internet. Sebagian penggerak sastra masih beranggapan bahwa media cetak
tetap dibutuhkan, bahkan penting. Terbitan-terbitan yang demikian serupa dengan
buku indie yang memang tidak dapat diandalkan secara profit dan lebih didorong
keinginan menumbuh-kembangkan sastra.
Penerbitan buku-buku sastra yang diterbitkan penerbit besar sendiri pada sepuluh tahun terakhir ini mengalami berbagai pasang surut tema/trend. Trend-trend yang muncul diantaranya penerbitan buku-buku bertema epos/sejarah (misalnya Gadjah Mada yang diterbitkan oleh Tiga Serangkai), buku-buku bertema islami (misalnya dari kelompok FLP), buku-buku bertema tokoh/biografi, buku-buku bertema perempuan (sastrawangi), dan lain-lain. Selain buku-buku baru, diproduksi ulang juga karya sastra klasik yang sudah lama tidak mengalami cetak ulang, seperti buku-buku terbitan Balai Pustaka dan Pustaka Jaya. Karya-karya yang sempat langka dan menjadi rebutan di pasar juga dicetak ulang (misalnya tertralogi Pulau Buru Pramoedya Ananta Toer) diterbitkan ulang oleh Lentera Dipantara. Gramedia sebagai salah satu penerbit besar di Indonesia lebih banyak memproduksi buku-buku terjemahan, sebelum akhirnya juga melirik penerbitan karya klasik (yang dibeli hak terbitnya) dan karya-karya baru pengarang yang namanya sudah cukup terkenal (misalnya Ahmad Tohari).
Generasi
Cyber
Gejala paling umum dari berkembangnya
sastra internet adalah munculnya keyakinan bahwa pusat adalah hal yang tidak
lagi penting. Dengan kepemilikan jalinan pertemanan yang hingga limaribu orang
di facebook, atau jumlah yang tidak terbatas di twitter, seorang penulis
menjadi memiliki massa sendiri, fans sendiri. Belum lagi kepemilikan
blog yang dapat ditautkan dengan search engine google yang memudahkan
siapa saja dimana saja untuk mengakses karya yang diciptakan. Pragmatisme bahwa
menulis di dinding facebook akan lebih cepat dan mudah dinikmati pembaca, tanpa
harus menunggu dimuat oleh seorang redaktur media menjadi hal yang jamak.
Faktor honor (selain eksistensi)
sebagaimana yang dulu menjadi alasan sebagian besar penulis di media cetak
tidak lagi begitu penting. Dapat dipahami bahwa dalam dunia cyber alasan
menulis (sastra) lebih pada kebutuhan ekspresi diri dan eksistensi.
Sebuah legitimasi dari media atau orang
tertentu yang menguasai kanal-kanal sastra tampaknya tidak lagi diperhitungkan
sebagai faktor penentu. Meskipun “pertempuran” di dunia cetak dan legitimasi
tertentu (misalnya indorsment buku) masih terus berlangsung, bagi sebagian
besar orang yang bergelut dengan dunia internet hal tersebut bisa diabaikan.
Selain itu dengan kebebasan yang sedemikian besar, siapa saja bisa menulis
sastra (terutama puisi), dan menyebut dirinya sastrawan. Karena memang sejak
dahulu tidak ada batasan yang jelas antara yang sastrawan dan bukan sastrawan,
antara yang penyair atau sekedar dilabeli “penulis puisi” maka dengan
sendirinya jumlah sastrawan/penyair dan karya sastra yang diciptakan bertambah
secara signifikan. Eksistensi atau pengakuan dari orang lain dalam bermain
kata, mirip dengan uforia selfie yang dilakukan banyak orang. Tidak
harus dalam skala yang luas, pengakuan dari lingkungan sekitar atau jejaring
perteman di sosial media yang dimiliki dianggap sudah mencukupi.
Uraian di atas menunjukkan sastra tidak
lagi melulu diproduksi oleh sastrawan atau penyair yang sudah terkenal.
Internet atau dunia maya menjadi ruang terbuka diperuntukkan bagi siapa saja
yang ingin berkontribusi dalam dunia sastra. Mahasiswa, pelajar, orang-orang
yang menekuni pekerjaan di luar dunia sastra juga dapat memproduksi sekaligus
mereproduksi sastra sedemikian rupa. Kasus di media sosial misalnya, banyak
sekali quote dari puisi para penyair maupun bukan penyair yang di
jadikan meme kemudian tersebar dimana-mana dan menjadi terkenal.
Munculnya group-group media sosial memudahkan sastra “menginfeksi” jaringan
masyarakat lebih luas. Hal ini wajar terjadi mengingat generasi kelahiran 80-an
sampai 2000-an adalah pemakai aktif internet dan media sosial. Gambar,
tulisan/kata-kata, suara, dan audiovisual yang menarik menjadi sebuah objek
yang biasa menjadi tranding topik. Sastra dengan demikian menjadi salah
satu yang menjadi perhatian. Selain itu sastrapun banyak dialihbentuk menjadi
film, musik, dan gambar sehingga menjadi lebih dikenal. Puisi ‘Aku Ingin”
Sapardi Djoko Damono misalnya menjadi sangat populer ketika dinyanyikan oleh Reda Gaudiamo dan Tatyana. Cukup dengan membagikan tautan situs yang memuat karya sastra yang dianggap
menarik, dengan sendirinya membuatnya karya tersebut tersebar. Sastra dengan
demikian juga dikuatkan oleh kesenian lain sehingga dapat dikenal lebih luas
dalam masyarakat.
Yogyakarta,
21 April 2016
[1]
Disampaikan dalam diskusi sastra mengenang Chairil Anwar dan peluncuran buku
puisi Onrust di Universitas Negeri Jember tanggal 28 April 2016.
[2]
Penyair, Pengurus Himpunan Sastrawan dan Komunitas Sastra DIY
[3]
Baca Perdebatan Sastra Kontekstual (Ariel Heryanto:1985)
[4]
Gerakan perlawanan terhadap pusat (Jakarta) yang diangggap mendominasi dunia
sastra (salah seorang penggeraknya Beno Siang Pamungkas)
[5]
Baca “Dicari: Kritik(us) Sastra Indonesia” dalam Politik Sastra, Saut
Situmorang (2009)
[6]
Survei dan perbincangan penulis dengan salah satu dosen jurusan Sastra di
Universitas Jendral Soedirman bahwa banyak alumni sastra yang bekerja di luar
bidang sastra, misalnya di bank.
[7]
Teknologi percetakan yang memungkinkan buku dicetak sesuai permintaan.
Teknologi ini tidak lagi membutuhkan film atau plat paper sebagaimana teknologi
offset. Penulis cukup menyediakan file dalam bentuk pdf dan buku siap untuk
diproses. Lihat misalnya di www.printondemand.co.id
Komentar
Posting Komentar