BEDAH BUKU “SATU HARI BUKAN DI HARI MINGGU” karya Yetti A.KA.





Kamis, 20 januari 2011 pukul 13.00 WIB, hujan deras dan gemuruh halilintar mengiringi saya ke kampus II Univesitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta di jalan Pramuka 42, Umbulharjo. Di Hall kampus itu, sesuai jadwal yang tertera di publikasinya, Komunitas Gress dan Teater JAB UAD menggelar acara peluncuran dan bedah buku karya Yetty A. KA berjudul Satu Hari Bukan di Hari Minggu. Setibanya saya di tempat acara, suasana masih sepi. Dan saya adalah orang pertama yang mengisi buku tamu. Acara yang sedianya dimulai pukul 14.00 itu mundur kurang lebih 20 menit. Penonton yang hadir kira-kira 25 orang.

Acara dibuka dengan doa oleh MC. Kemudian dilanjutkan dengan sambutan dari Joko Mardiko selaku ketua teater JAB dan wakil dari Gress Publishing. Setelah acara seremonial-formal selesai, Anes Prabu Sajarwo, seorang guru bahasa dan guru teater,  membacakan satu cerpen dari kumpulan cerpen Satu Hari Bukan di Hari Minggu. Tak lupa Anes memberi komentar soal bagaimana membaca cerpen Yetti A. KA. Baginya, membaca karya Yetty A. KA membosankan karena pada saat membaca kita harus membacanya secara mendalam. Usai pembacaan cerpen, acara diskusi dimulai.

Diskusi dimoderatori oleh Latief S. Nugraha dan menghadirkan dua pembicara: Suharmono A. Rimba, yang adalah direktur Gress Publishing dan Dra. Rina Ratih, S.S, M.Hum., yang adalah orang yang mendalami kajian feminisme pada program Doktornya di UGM. Yetty A. KA, sebagai penulis buku, justru tidak hadir karena sedang melakukan peluncuran buku yang sama untuk daerah Padang, Bengkulu, dan Jambi.
Suharmono A. Rimba, biasa dipanggil Pak Mono, bercerita bahwa cerpen-cerpen Yetti menarik karena unsur-unsur lokal dan kedekatan dengan alam yang ditemukan di dalamnya. “Sebuah cerpen yang mempunyai nuansa yang berbeda; tidak seperti Djenar atau Ayu Utami yang lebih kosmopolitan, Yetty lebih lokal dengan kedekatannya dengan alam,” ujar Pak Mono. Selanjutnya, Pak Mono membeberkan latar belakang penerbitan kumpulan cerpen itu. Menurutnya, Yetty sendiri sebenarnya lebih suka mengirim naskah ke Internet daripada ke penerbit. Hal itu adalah salah satu pemberontakannya karena penerbit kadang membohongi penulis: bilang terbit 2000 eksemplar, ternyata aslinya terbit 5000 eksemplar, misalnya. Upah penulis dari penerbit juga terbilang kecil, hanya 10%. Gress publisher, cerita Pak Mono, juga telah melakukan negosiasi dengan Yetty terkait persoalan-persoalan itu. Dan Pak Mono mengakhiri presentasinya.
Pembicara kedua adalah Dra. Rina Ratih, S.S, M.Hum yang ‘bertugas’ membedah karya yang diluncurkan. Rina Ratih, yang akrab dipanggil Bunda Ratih, mengawali bagiannya dengan beberapa pertanyaan perihal perhatian publik pada acara itu. “Penulisnya itu siapa, sih? Yetty itu siapa? Kalau saja diskusi ini membahas tentang karya Ayu Utami yang sudah terkenal mungkin akan lebih banyak yang datang.”

Bunda Ratih kemudian bercerita tentang kesulitan yang ia dapat saat membaca karya-karya Yetti. Kesulitan itu datang dari struktur latar cerpen yang berubah-ubah. Namun, itu tak menghentikan proses membacanya karena banyak daya tarik yang kuat dalam cerpen. Misalnya, Yetti menggunakan sudut pandang campuran dalam menarasikan cerpennya, bahasa yang dipakai Yetti sangat puitis, daya imajinasi Yetti tinggi, dan Yetti memainkan alur terbuka. Untuk daya pikat yang terakhir disebut, Bunda menyatakan bahwa cara bercerita Yetti membuat pembaca berpikir mengenai akhir cerita yang tidak ditemukannya. Terakhir, menyinggung tema, Bunda Ratih mengatakan bahwa cerpen Satu Hari Bukan di Hari Minggu bercerita tentang perempuan yang tersisih, inferior, dan termarjinalkan.

Menurut Bunda Ratih, Satu Hari Bukan di Hari Minggu bisa dijadikan kajian ilmiah dengan memakai pendekatan stilistika, struktur, dan feminisme. Stilistika bisa mengacu pada gaya bahasa, sedangkan struktur bisa dilihat dari latarnya yang berubah-ubah dengan cepat, dan feminisme dapat dilihat dari tokoh perempuan dalam setiap karya Yetti. Contoh yang dipakai Bunda adalah cerpen Menangislah Bahwa Kau Perempuan. Lanjutnya, argumen yang ada dalam cerpen tersebut memperlihatkan stereotipe bahwa perempuan itu cengeng dan hanya perempuan yang boleh menangis; dan menurut sudut pandang patriarki, perempuan yang ideal adalah perempuan yang patuh.

Di akhir sesi, Bunda membuat pengandaian dalam membaca cerpen-cerpen Yetti. “Membaca karya ini seperti minum jamu: Awalnya pahit tapi akhirnya manis jika melihat beberapa daya tarik yang kuat di cerpen tersebut,” tutupnya.

Setelah presentasi, sedianya ada sesi tanya jawab untuk melengkapi sesuatu yang disebut diskusi. Namun, tidak ada peserta yang mengajukan pertanyaan ataupun komentar. Tidak adanya penanya membuat acara tersebut dilanjutkan dengan pemberian bingkisan kenang-kenangan kepada pengisi acara dan diskusi. Setelahnya, acara ditutup dengan spontanitas.

Dalam perbincangan saya dengan Pak Mono, terungkap bahwa apresiasi acara di Yogyakarta dan di Padang cukup berbeda. Apresiasi peluncuran buku di Yogyakarta lebih rendah dibandingkan di Padang. Rendahnya apresiasi ini, menurut Pak Mono, tidak lepas dari kelesuan sastra di Yogyakarta akhir-akhir ini, dibandingkan dengan kurun waktu antara tahun 2005 hingga 2008 yang lebih bergairah. Acara intern yang terbuka untuk umum ini adalah semacam tolok ukur yang akan dipakai untuk peluncuran bulan Maret mendatang di TBY. Perihal pemilihan tempat, Pak Mono menjelaskan bahwa sebagian besar orang yang ada dalam Gress Publishing memang mahasiswa UAD dan Pak Mono sendiri, sebagai alumnus UAD, rindu akan adanya acara sastra di bekas kampusnya.

Meski kurang ramai dalam jumlah peserta dan tidak riuh dalam perdebatan ide, penonton yang hadir merasa mendapat masukan dari acara itu. Salah satunya adalah Nia S. Kurniawati, mahasiswa PBSI semester 7. Ia mengatakan bahwa presentasi-tanpa-tanggapan itu membantunya karena ia sebentar lagi akan mengambil skripsi. Buku yang dibahas dalam acara itu bisa jadi referensi untuk bahan skripsinya. Di samping itu, ujarnya, bedah buku itu bisa membangkitkan apresiasi mahasiswa PBSI terhadap karya sastra dan meningkatkan minat membaca dan menulis, khususnya bagi perempuan.

sumber: http://mediasastra.com/berita/21/01/2011/peluncuran_buku_satu_hari_bukan_di_hari_minggu_presentasi_bukan_diskusi


Komentar

Postingan Populer